Kurikulum Pesantren
Pada sebuah lembaga pendidikan, kurikulum merupakan salah satu komponen utama yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan isi pengajaran, mengarahkan proses mekanisme pendidikan, tolok-ukur keberhasilan dan kualitas hasil pendidikan. Menurut Iskandar W., kurikulum merupakan program pendidikan sekolah yang disediakan untuk siswa.
Kurikulum pesantren dalam hal ini pesantren “salaf” yang statusnya sebagai lembaga pendidikan non-formal, hanya mempelajari agama, bersumber pada kitab-kitab klasik meliputi bidang-bidang studi: Tauhid, Tafsir, Hadis, Fiqh, Ushul Fiqh, Tashawuf, Bahasa Arab (Nahwu, Sharaf, Balagah, dan
Tajwid), Mantiq, dan Akhlak, yang kesemuanya dapat digolongkan ke dalam 3 golongan yaitu: 1) kitab dasar, 2) kitab menengah, 3) kitab besar.
Kurikulum dalam jenis pendidikan pesantren berdasarkan tingkat kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam kitab, jadi ada tingkat awal, tingkat menengah, dan tingkat lanjut. Setiap kitab bidang studi memiliki tingkat kemudahan dan kompleksitas pembahasan masing-masing, sehubungan dengan itu, maka evaluasi kemajuan belajar pada pesantren juga berbeda dengan evaluasi dari madrasah dan sekolah umum.
Jenis madrasah dan sekolah umum bersifat formal, dan kurikulumnya mengikuti ketentuan pemerintah. Madrasah mengikuti ketentuan dari Departemen Agama, dengan menggunakan perbandingan 30% berisi matapelajaran agama, dan 70% berisi matapelajaran umum. Berbeda dengan pesantren, dengan bobot perbandingan 20% berisi matapelajaran umum, dan 80% berisi matapelajaran agama. Tetapi, pada umumnya masing-masing pesantren menyesuaikan kurikulum-kurikulum yang datang dari Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional tersebut menurut kepentingan dan keyakinan masing-masing.
Lahirnya jenis pendidikan formal seperti madrasah dan sekolah umum adalah untuk memenuhi ketentuan pembangunan, kemajuan ilmu, dan teknologi, atau dengan kata lain untuk memenuhi tantangan jamannya. Kedua jenis pendidikan ini ternyata menjadi jembatan bagi pesantren yang menghubungkannya dengan sistem pendidikan nasional, dan sebaliknya kedua jenis pendidikan formal tersebut juga mendapat penyempurnaan dari jenis pendidikan non-formal, yaitu “pesantren” terutama mengenai moral yang tidak dapat didikan secara formal di madrasah dan sekolah umum.
Dengan kata lain, makna pesantren sebagai jenis pendidikan non-formal, berbeda dengan makna pendidikan non-formal dalam term pendidikan umum, di mana makna pendidikan non-formal dalam terma yang terakhir berarti memberikan komplemen dan suplemen pada ketrampilan atau kemampuan yang telah dimiliki oleh anak didik agar mampu melayani kebutuhan yang semakin meningkat sehubungan dengan kompleksitas tantangan pekerjaan yang dihadapinya. Makna pendidikan non-formal pada pesantren berarti mendasari, menjiwai, dan melengkapi akan nilai-nilai pendidikan formal. Tidak semua hal dapat diajarkan melalui program-program sekolah formal, di sini pesantren mengisi kekurangan tersebut.
Karakteristik kurikulum dalam pesantren yang terfokus pada ilmu agama seperti di atas, tidak lepas dari tujuan pondok pesantren itu sendiri. Adapun tujuan pondok pesantren dibagi menjadi dua bagian, sebagai berikut.
1. Tujuan umum
Membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islami yang dengan ilmu agamanya ia sanggup menjadi muballigh Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya.
2. Tujuan khusus
Mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh Kiai yang bersangkutan, serta mengamalkannya dalam masyarakat. Dewasa ini, kalangan pesantren (termasuk pesantren salaf) mulai menerapkan sistem madrasati. Kelas-kelas dibentuk secara berjenjang dengan tetap memakai kurikulum dan materi pelajaran dari kitab-kitab kuning, dilengkapi pelatihan ketrampilan seperti menjahit, mengetik, dan bertukang. Sistem ini kurikulumnya masih sangat umum tidak secara jelas dan terperinci. Tetapi, yang jelas semua pelajaran tersebut telah mencakup segala aspek kebutuhan santri dalam sehari semalam. Kurikulum yang berkaitan dengan materi pengajian berkisar pada ilmu-ilmu agama dengan segala bidangnya seperti disebut sebelumnya. Kendati demikian, tidak berarti ilmu-ilmu keislaman yang diajarkan di pesantren-pesantren sama dan seragam. Pada umumnya, setiap pesantren mempunyai penekanan atau ciri tersendiri dalam hal-hal ilmu yang diberikan. Oleh karena itu, sulit bahkan mustahil menyamaratakan sistem dan kurikulum pesantren seperti yang pernah diusulkan.
Sistem Pengajaran Pesantren
Salah satu ciri tradisi pesantren yang masih kuat dipertahankan di sebagian besar pesantren adalah pengajian kitab salaf. Kitab salaf yang lebih dikenal di kalangan luar pesantren dengan sebutan kitab kuning, merupakan kitab-kitab yang disusun para sarjana Islam abad pertengahan. Kitab-kitab tersebut dalam konteks penyusunan dan awal penyebarluasannya merupakan karya intelektual yang tidak ternilai harganya, dan hanya mungkin disusun oleh ulama jenius dalam tradisi keilmuan dan kebudayaan yang tinggi pada jamannya.
Isi yang disajikan kitab kuning hampir selalu terdiri dari dua komponen; pertama matan dan kedua komponen syarah. Matan adalah isi inti yang akan dikupas oleh syarah. Dalam lay out-nya, matan diletakkan di luar garis segi empat yang mengelilingi syarah. Ciri lain penjilidan kitab-kitab cetakan lama biasanya dengan sistem korasan (karasan), lembaran-lembarannya dapat dipisah-pisahkan sehingga lebih memudahkan pembaca untuk menelaahnya.
Apabila kita menengok media berita surat kabar masa kini adalah menganut sistem korasan. Di kalangan masyarakat, kedudukan kitab kuning saling melengkapi dengan kedudukan Kiai. Kitab kuning merupakan kodifikasi nilai-nilai yang dianut masyarakat pesantren, sementara Kiai adalah personifikasi yang utuh dari sistem yang dianut tadi.
Sistem pendidikan di pesantren pun memiliki watak mandiri, bila dilihat secara keseluruhan bermula dari pengajaran sorogan, di mana seorang Kiai mengajar santrinya yang masih berjumlah sedikit secara bergilir santri per santri. Pada gilirannya murid mengulangi dan menerjemahkan kata demi kata sepersis mungkin seperti apa yang diungkapkan oleh gurunya. Sistem penerjemahan dibuat sedemikian rupa agar murid mudah mengetahui baik arti maupun fungsi kata dalam rangkaian kalimat Arab. Sistem tersebut, murid diwajibkan menguasai cara pembacaan dan terjemahan secara tepat, dan hanya boleh menerima tambahan pelajaran bila telah berulang-ulang mendalami pelajaran sebelumnya. Sistem sorogan inilah yang dianggap fase tersulit dari sistem keseluruhan pengajaran di pesantren karena di sana menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan, dan disiplin pribadi dari murid itu sendiri. Pengajian sorogan lalu diikuti pengajian weton, seorang Kiai duduk di lantai masjid atau beranda rumahnya sendiri membacakan dan menerangkan teks-teks keagamaan dengan dikerumuni oleh santri-santri yang mendengarkan dan mencatat uraiannya itu. Pengajian sorogan masih diteruskan dengan memberi wewenang kepada guru-guru untuk melaksanakannya di bilik masing-masing. Demikian pula lambat- laun pengajian weton diwakilkan kepada pengganti (badal) sehingga Kiai hanya memberikan pengajian weton dengan teks-teks utama.
Selain kedua metode tersebut, Mastuhu menyebut hapalan dan halaqah. Dalam perkembangannya sistem madrasah dan klasikal diterapkan untuk mempermudah proses pembelajaran sebagai pengembangan dan pembaruan pengajian model sorogan dan weton.
Metode sorogan, diduga sangat kuat merupakan tradisi pesantren, mengingat sistem pengajaran di pesantren memang secara keseluruhan. Hal ini lagi-lagi menunjukkan ciri khas tradisionalnya dengan mempertahankan warisan masa lalu yang cukup jauh. Namun demikian, bukan berarti hanya metode sorogan saja yang dipergunakan di kalangan pesantren tradisional, melainkan boleh jadi dipergunakan pula metode yang lain misalnya weton atau bandongan, bahkan pengajaran klasikal (madrasi). Hanya saja, yang disebutkan terakhir tidak bisa dibayangkan pelaksanaannya seperti yang berlaku di madrasah atau sekolah umum karena cukup banyak segi-segi yang membedakannya.
Istilah weton berasal dari bahasa Jawa yang berarti waktu. Disebut demikian karena pengajian model ini dilakukan pada waktu-waktu tertentu, biasanya sesudah mengerjakan shalat fardlu, dilakukan seperti kuliah terbuka yang diikuti para santri. Kemudian Kiai membaca, menerjemahkan, menerangkan, sekaligus mengulas kitab-kitab salaf yang menjadi acuan. Termasuk dalam pengertian weton adalah halaqah.
Sistem sorogan, para santri maju satu per satu untuk membaca dan menguraikan isi kitab di hadapan guru atau Kiai. Selain dua sistem tersebut (weton, sorogan), pesantren juga kerap menggunakan sistem musyawarah. Model ini bersifat dialogis sehingga umumnya hanya diikuti oleh santri senior.
Namun demikan, tiap pesantren tidak mengajarkan kitab yang sama, melainkan kombinasi kitab yang berbeda-beda sehingga banyak Kiai terkenal dengan spesialisasi kitab tertentu. Hal ini karena kurikulum pesantren tidak distandarisasi. Dari perkembangan seperti itulah bahwa pesantren merupakan lembaga khusus dengan pengajaran kitab-kitab kuning sebagai tempat pendidikan yang mengajarkan, mengembangkan dan menyebarkan ilmu agama Islam dengan sistem pengajaran yang dilakukan langsung dari bahasa Arab serta berdasarkan pembacaan kitab-kitab klasik karya ulama besar.